• Jumat, 29 April 2011

      TASHOWUF DAN TORIQOH


      Sejarah

      Introspeksi arti tashawuf meliputi misi, visi, pertumbuhan, faktor pendorong kemunculan, dan posisinya sebagai bagian dari epistimologi. Ada beberapa definisi tashawuf, antara lain didefinisikan sebagai bukan gerak lahir dan bukan pengetahuan, tetapi kebijakan. Al-Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa tashawuf adalah penyerahan diri pada Allah. Ada juga yang berpendapat bahwa tashawuf adalah makan sedikit demi mencari kedamaian dalam zat Allah dan menarik diri dari khalayak.
      Kalau anda terus membaca definisi-definisi tashawuf yang ada, anda bisa terjebak dalam satu pojok: tashawuf, kalau begitu, sama dengan zuhud; tashawuf berarti lapar. Ada yang mengatakan bahwa, agar anda tidak cepat dimasuki setan, anda harus mengosongkan perut sehingga mudah mengendalikan diri. Akan tetapi, ada juga yang secara berseloroh mengatakan, justru perut harus diisi agar setan tidak bisa masuk. Ada yang menyimpulkan bahwa tashawuf pada intinya adalah zuhud. Tashawuf seolah-olah hanya terkait dengan akhirat, tidak dengan dunia; reaksinya pada dunia adalah negatif dan mengharuskan hidup miskin. Adakah tashawuf memang demikian? Tampaknya, kita harus berkunjung ke sarang para sufi. Sebab, belajar tashawuf hanya mendengar saja, sama artinya dengan tidak belajar; seperti halnya ketika anda belajar mengemudi mobil hanya melalui ceramah saja tanpa praktik.
      Definisi-definisi di atas, tidak menjelaskan tashawuf yang sebenarnya. Definisi tersebut hanya petunjuk saja. Tujuan tashawuf tidak akan dapat dipahami dan dijelaskan dengan persepsi apapun, filosofis maupun yang lain. Hanya kearifan hati yang mampu memahami sebagian dari banyak seginya. Diperlukan suatu pengalaman rohani yang tidak bergantung pada metode-metode indra ataupun pemikiran.
      Fazlur Rahman , seorang guru besar ilmu Keislaman di Universitas Chicago Amerika Serikat, berkata, : ”Timbulnya tashawuf dalam Islam bukan sesuatu yang aneh, bahkan menurut saya, ˜wajib". Kurang keislamannya bila seseorang tidak mengambil tashawuf, kira-kira demikian. Nabi kita, sebelum menjadi Rasulpun, adalah seorang sufi. Beliau hidup sederhana, memikirkan kebenaran, merenungkan alam, dan bertapa (Uzlah).
      Fazlur Rahman mengatakan bahwa permulaan gerakan sufi berhubungan dengan satu kelompok muslim yang senang melakukan pertapaan. Mereka senang membaca al-Quran dengan cara menangis. Mereka juga senang bercerita. Cerita-cerita mereka sangat mempengaruhi para pendengarnya. Akan tetapi, yang penting di sini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya adalah seorang sufi. Demikian juga halnya para sahabat beliau. Hanya saja, waktu itu belum dikenal yang namanya tashawuf. Urutan Riyadhah-nya belum dikodifikasikan dan belum dibuat rumusan-rumusan.
      Sekarang, tashawuf sudah menjadi berbagai tarekat, metode-metodenya sudah begitu teratur. Di zaman Rasul dan Sahabat, tashawuf belum seperti sekarang. Namun, pada esensinya, mereka sama dengan para sufi zaman-zaman selanjutnya.
      Banyak orang belum begitu paham tentang apa itu tashawuf dan apa itu tarekat. Konsekuensinya, kalau anda ingin mengambil tashallallahu ‘alaihi wa sallamuf, pasti anda mengambil tarekat. Sebab, pengamalan tashawuf ada dalam berbagai tarekat.
      Bila tashawuf hanya diartikan sebagai banyak berpuasa, tidak mau diajak korupsi, atau hanya diartikan sebagai suatu sikap keilmuan, orang tidak perlu ikut tarekat. Akan tetapi, bila tashawuf sudah mencapai pengertian riyadhah (latihan dengan menempuh berbagai tingkatan tertentu), orang harus mengambil tarekat. Harus ada bentuknya, apa pun namanya, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, dan sebagainya.
      Hal ini penting bila anda menghadapi anggapan orang yang mengatakan bahwa tarekat atau tashawuf bukan ajaran Islam atau bid’ah. Anda dapat mengatakan bahwa, sebelum menjadi Rasul pun, Nabi Muhammad adalah seorang sufi. Para sahabat yang tinggal di shuffah pun tidak diusir oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta para sahabat lain untuk membantu memberi makan mereka.
      Ajaran tawakal dalam al-Quran mendorong timbulnya tashawuf yang bercirikan zuhud. Tawakal adalah penyerahan diri. Pentingnya pengalaman spiritual yang ditekankan dalam al-Quran juga memberikan pengaruh bagi timbulnya tashawuf. Menurut Fazlur Rahman, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar diperintah oleh Allah menjadi Rasul tatkala beliau menyaksikan sesuatu melalui pengalaman-pengalaman spiritual. Jadi, kesadaran kerasulan justru dimulai dari pengalaman spiritual. Fazlur Rahman melihat ayat-ayat yang berisi hal-hal spiritual umumnya sebagai ayat-ayat yang diturunkan di Mekah. jarang dijumpai ayat-ayat Madaniyah yang berisi pentingnya pengalaman-pengalaman spiritual.
      Menurut Rahman, kenyataan ini mengharuskan adanya dasar-dasar keyakinan dari dorongan pengalaman spiritual terlebih dulu yang kelak menjadi landasan bagi pembangunan umat Islam di Madinah.
      Berkaitan dengan hal di atas, kita bisa membuat analogi, kalau anda mau jadi presiden atau ketua RW, misalnya, anda tentu harus mempunyai landasan yang kuat untuk pekerjaan itu. Kalau tidak, anda bisa oleng , kira-kira demikian. Pengalaman spiritual termasuk sikap tawakal dan hidup sederhana , bermuara dari zuhud. Faktor paling dominan yang menyebabkan timbulnnya gerakan tashawuf adalah ajaran zuhud dalam Islam. gampangnya, zuhud berarti hidup sederhana.
      Perkembangan tashawuf mempunyai makna yang khusus ketika muncul guru-guru sufi. Pada tahap pertama, berjalanlah tashawuf dalam arti zuhud dan ibadah-ibadah sunnah. Hal ini terjadi kira-kira sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tahap kedua, muncul guru-guru sufi yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Mereka mengajarkan wirid dan tarekatnya.
      Sebelum masa al-Ghazali pun, jenis-jenis tarekat sudah ada. Lalu ada perkembangan sangat berarti di zaman al-Ghazali yang berjalan cukup panjang. Pada masa itu, tashawuf sudah berbeda dari sebelumnya, karena sudah bercampur dengan filsafat.
      Di kalangan Syi’ah, tradisi tashawuf kuat sekali, disertai dengan filsafat dan fikih ortodoks yang kokoh. Pikiran Syi’ah memang agak ganjil. Fikih Syi’ah kadang-kadang tampak rasional dan kadang-kadang tampak kaku sekali. Filsafat mereka juga kadang-kadang rasional sekali dan kadang justeru bercampur dengan irfan sehingga tidak tampak lagi ciri rasionalnya.
      Kesimpulannya, bahwasanya tashawuf memang sudah ada sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun saat itu belum dimodifikasi seperti pada saat ini. Jadi, bagi siapapun yang tidak sepaham dengan doktrin tashawuf, apalagi sampai berkata tashawuf bidah, berarti dia tidak membaca dan memetik intisari sejarah yang penuh hikmah dan arti. 

      Kemunculan Thoriqoh

      Thariqoh adalah salah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thariqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.
      Lihat saja, misalnya hadis yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatab RA. berkunjung ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia telah masuk di dalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan unuk berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang. Maka kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rasulullah ? hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal di tangan tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan dunia barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi.”
      Suatu hari Malaikat Jibril As. datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. setelah menyampaikan salam dari Allah Swt, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman As atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub As?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah Swt dan disana lapar aku bisa bersabar dengan ujian Allah Swt.”
      Bahkan suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya. Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rasulullah.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menjawabnya: ”Karena pada itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian!”
      Apa yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
      Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadii di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah,dan Zuhhad.
      Hanya saja ada perbedaan diantara mereka. Kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
      Meskipun saat itu Daulat Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Semua itu dikarenakan fakor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan. Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad.
      Golongan Zuhhad inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam penulisan buku ini, karena gerakan-gerakannya mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar dan mendekatkan diri pada Allah ‘Azza wa jalla.
      Gerakan yang muncul di akhir abad per enam hijriyyah ini, pada mulanya meupakan kegiaan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridla Allah Swt, agar idak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Karenayna, pada saa itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang- orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “Ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah).
      Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadlah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapna tabir antara diriyna dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan “takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu “tahalli”, yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu “tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah Swt. Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat Muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu “Tashawuf.”
      Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thariqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Sufi. Pada saat itu disebut “Thariqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Sufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thariqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran. Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thariqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembibingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridyna. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thariqoh.”
      Pada perkembangan berikutyna, terjadi perbedaan diantara tokoh Sufi di dalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah Swt dan ridlanya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthmainah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian ke tingkat nafsu radliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang mengguanakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun.
      Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thariqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.


      (di copi dari :Thoriqoh.indonesia.blogspot.com)

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news